
Pengalaman dari kawan tersebut, ketika ia berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan sesama orang Indonesia, lebih sering yang muncul adalah celaan. “Ah, grammarnya payah… ah, lafalnya nggak pas, masih medok dengan aksen asalnya…kurang ini itu…dsb…”
Sementara ketika ia berkomunikasi dengan ekspatriat, alias orang asing, mereka tetap mendengarkan dengan cermat, dan tetap membesarkan hati saat ia berkata bahwa bahasa Inggrisnya belum sempurna. “No problem… don’t worry, I understand… you’re pretty good….dll”… yang intinya, tidak mengecilkan hati.
Saya menduga, ini karena perbedaan perspektif. Di mana rata-rata yang berlaku di sini (di AS) adalah penghargaan terhadap proses juga. Tidak semata-mata hasil. Orang tidak malu bercerita tentang bagaimana mereka jatuh bangun, hingga akhirnya sukses. Di sekolah, murid tidak semata-mata diarahkan untuk mengejar nilai, melainkan juga berpacu sesuai kemampuan dan bakat masing-masing. Orang-orang dari beragam latar budaya dan asal negara, berbahasa Inggris dengan logat yang beraneka ragam. Tidak ada yang dicela hanya karena tidak sempurna. Paling-paling hanya jadi sasaran lelucon oleh para pelawak, yang notabene sebenarnya mereka juga mentertawakan dirinya sendiri.
Saat menjalani tes kewarganegaraan, saya diwawancarai oleh staf imigrasi yang berasal dari Zimbabwe. Logat Zimbabwenya kental banget, dan selintas saya sempat takjub juga, ternyata tidak ada diskriminasi dalam hal penerimaan staf keimigrasian. Padahal semula, saya kira yang bisa lolos jadi pegawai, adalah mereka yang paling tidak kece lah logat bahasa Inggrisnya. Minimal mendekati native speaker.
Kadang-kadang, orientasi yang berlebihan terhadap hasil ketimbang proses, bisa membawa kita terdorong untuk mengambil jalan pintas. Misalnya pengen cepat kaya, lalu pergi ke orang yang bisa menggandakan uang. Padahal siapapun tahu, datangnya rejeki tidak demikian caranya.
Ada sih yang begitu, dan bisa. Tetapi alam punya aturannya sendiri. Jika caranya tidak baik, tentu tidak akan bertahan lama. Atau dampaknya juga pasti tidak baik.
Atau misalnya yang beberapa kali saya temui, orang pengen ngebranding dirinya dalam sekejap. Minta seketika itu langsung berhasil. Misalnya sebulan lagi harus menang Pilkada, dan semacamnya.
Jelas, ini tidak mungkin juga. Tetep bisa sih, promo branding dan berusaha keras mendominasi semua channel komunikasi dalam waktu sesingkat-singkatnya. Apalagi jika didukung sumber dana yang berlimpah seperti keran air yang tak putus-putus. Tetapi apakah itu akan tahan lama? Apakah itu otentik? Belum tentu. Untuk mengubah satu kebiasaan saja, kita butuh waktu minimal 90 hari. Apalagi mengubah brand.
Sepertinya, kita perlu lebih memperkuat penghargaan terhadap proses. Agar tidak lagi sering berpikir untuk mengambil jalan pintas. Hacking something, dalam hal tertentu, memang positif. lebih menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Tetapi tidak semua hal perlu di-hack. Terutama untuk hal-hal yang bersifat pembelajaran dan berorientas jangka panjang.
Semoga berkenan dengan sekelumit opini ini.
Salam Branding!
keren banget! saya suka! Menghargai proses!
LikeLike
Thank you! 🙂
LikeLike